Agama
dan Masyarakat
Secara teologis, agama di
samping menjadi keyakinan, juga memerankan dirinya sebagai sumber nilai yang
mutlak dan universal. Sebagai sebuah nilai, agama menjadi kerangka etis dalam
membangun moralitas kekuasaan dan masyarakat madani. Agama diyakini sebagai
risalah dari Tuhan yang bersifat theo-centris, sementara moralitas kekuasaan
dan masyarakat madani merupakan bagian dari antropo-centris yang menitik
beratkan pada persoalan manusia dan legitemasinya pun diperoleh dari sesamanya.
Persoalan agama, moralitas
kekuasaan dan masyarakat madani adalah persoalan manusia dan kemanusiaan. Hanya
saja, letak perbedaannya yaitu agama merupakan respons manusia terhadap
Tuhannya, sedangkan kekuasaan dan masyarakat madani merupakan respons dan tatakrama
manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks pergumulan dengan sesamanya.
Sebagai makhluk sosial yang
beragama, manusia diharapkan bisa bertindak netral dan bersikap objektif.
Sebagai agamawan, seharusnya tidak membiarkan dirinya berperilaku secara destruktif.
Tetapi sebaliknya, sebagai agamawan harus menunjukkan citranya sebagai pelaku
kekuasaan yang memiliki kesadaran moral dan etis yang lahir dari spirit
keagamaan.
Persoalan agama, tidak dapat
dipisahkan dari persoalan kekuasaan dan kemasyarakatan. Kerena kekuasaan dan
masyarakat merupakan bagian entitas dari agama. Dilihat dari sudut sosiologis,
agama dapat berperan sebagai alat integratif. Namun dalam sementara waktu,
kadang-kadang ia menjadi media disintegratif. Karena itu, formulasi agama sebaiknya
dipahami sebagai kerangka nilai, bukan menjadi narasi teks ataupun simbol yang
kaku dan serampangan. Sehingga kehadiran agama mampu menjadi kerangka moral
menuju ketahanan dan ketenangan psikologis manusia.
Agama sebagai sumber nilai
diharapkan menjadi inspirasi bagi pelaku kekuasaan untuk selalu menegakkan
keadilan, keterbukaan dan kebebasan menuju cita-cita masyarakat madani. Agama
menjadi kekuatan moralitas (moral force) dalam kaitannya menciptakan kekuasaan
bersih (power clear), politik adi luhung (high politic), masyarakat sipil
(civil society) dan budaya bernegara (civic culture).
A.
Agama: Sumber Nilai
Sebagai sebuah keyakinan,
agama merupakan salah satu sumber nilai yang berlaku dalam pranata kehidupan
manusia. Nilai agama adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui Rasul-Nya, yang
berbentuk taqwa, adil, bijaksana, imam, yang diabadikan dalam wahyu (kitab
suci).
Agama merupakan sumber yang
pertama dan utama bagi para pemeluknya. Dari agama, mereka menyebarkan
nilai-nilai untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya, nilai
agama sulit mengalami perubahan, namun secara ektrinsik, tidak terutup
kemungkinan agama dapat dipahami dan interpretasikan sesuai dengan kebutuhan
ruang dan waktu, selama tidak mengubah nilai-nilai intrinsiknya. Karena wahyu
adalah kandungan makna yang tidak semuanya bersifat muhkan (jelas), melainkan
juga ada yang bersifat mubham (belum jelas). Sehingga masih memerlukan kerja
ijtihad sebagai upaya untuk menggali makna yang lebih konstektual, historis,
dan konstruktif sesuai dengan semangat nilai agama dan sekaligus menjadi agent
perubahan supaya lebih memiliki makna yang historis-empiris.
Di samping agama, sumber
nilai juga lahir dari dalam diri manusia, yang biasanya disebut dengan nilai
insani. Berbeda dengan nilai agama, nilai insani tumbuh atas kesepakatan
manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai seperti ini
cenderung bersifat dinamis dan berubah-ubah serta kebenarannya relatif (nisbi)
yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Nilai insani cenderung
menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota
masyarakat yang mendukungnya. Akhirnya, nilai insani lebih mengarah pada
bentuk-bentuk tradisionalisme, primordialisme, sekterianisme, dan lebih-lebih
sebagai penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Inilah kemudian
menyebabkan adanya kontradiksi antara kepercayaan yang diperlukan sebagai
sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia.
Oleh karena itu, nilai yang perlu dibutuhkan untuk membangun kehidupan harus tetap bersumber pada nilai-nilai yang sungguh-sungguh merupakan suatu kebenaran universal. Namun pada kenyataanya, nilai tumbuh dan berkembang mendayung di atas nilai agama pada satu sisi, dan muncul dari tradisi-tradisi kemanusiaan pada sisi yang lain. Bertolak dari kedua sumber tersebut, agaknya kita harus memunculkan sebuah konsep konfergensi sebagai upaya untuk mengkompromikan dari kedua sumber tersebut. Sehingga hasilnya bisa diharapkan sesuai dengan keinginan manuasi pada umumnya.
Islam dalam memandang nilai,
bukan langsung memberikan justifikasi baik menolak ataupun menerima. Tetapi
sikap Islam dalam hal ini lebih bersifat apresiatif dengan menggunakan kriteria
sebagai berikut: Pertama, memelihara unsur-unsur nilai atau norma yang sudah
mapan dan positif. Kedua, menghilangkan unsur-unsur nilai dan norma yang sudah
mapan tetapi negatif. Ketiga, menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma baru yang
belum ada dan dianggap positif. Keempat, bersifat menerima (receptive), memilih
(selective), mencerna (digestive), menggabung-gabungkan dalam satu sistem
(assimilative), dan menyampaikan pada orang lain (transmissive) terhadap nilai
pada umumnya. Kelima, bersifat rekonstruktif penyucian nilai, agar sesuai dan
sejalan dengan nilai agama sendiri. Dengan demikain, akan terwujud hubungan
yang ideal antara nilai agama dan nilai masyarakat.
Hubungan antara nilai agama
dengan nilai insani harus dipadukan secara utuh, yang kemudian pada akhirnya
melahirkan nilai etis-religius. Barangkali inilah konsep ideal yang bisa diharapkan
menjadi landasan dalam membangun moralitas kekuasaan dan masyarakat madani.
Kerena tanpa dukungan nilai etis-religius upaya untuk menegakkan moralitas
kekuasaan dan masyarakat madani adalah angan-angan kosong (nihilisme) belaka.
Sehingga tetap harus berdasar pada kerangka etis-religius tersebut.
B.
Agama dalam Realitas Sosial
Sebagian besar kalangan
Islam menyetujui pendapat H.A.R. Gibb yang menyatakan bahwa Islam sesungguhnya
bukan hanya satu sistem teologi semata, tetepi ia merupakan peradaban yang
lengkap. Tegasnya, dari statemen ini adalah hampir semua kelompok umat Islam
sepakat dan mendukung sebuah perpaduan (integritas) antara agama dan urusan
dunia merupakan satu entitas yang utuh. Sehingga antara yang profan dan sakral
tidak ada perbedaan yang mencolok.
Meskipun dalam hal-hal
tertentu umat Islam menolak pembatasan agama dalam arti sempit, namun --masih
menurut Gibb-- suatu pembatasan dalam bidang agama, akan memberikan dampak yang
positif, asalkan berangkat dari satu anggapan bahwa unsur agama dalam
masyarakat sangat berhubungan erat dengan unsur-unsur lainnya. Analisa yang
dikemukakan Gibb, merupakan salah satu yang menunjukkan terhadap Islam modern.
Analisa yang dijelaskan oleh
Gibb tersebut sesungguhnya telah mengilustrasikan bahwa agama merupakan dasar
untuk perkembangan lain dalam dunia modern. Namun yang menjadi persoalan adalah
kondisi masyarakat dan kebudayaannya belum bisa dianggap seratus persen
memiliki kandungan nilai agama. Lalu timbullah pertanyaan, apakah sebagian
orang Islam bersikap seperti dalam kandungan ajarannya? Sebab, Islam sebagai
satu peradaban yang komplit nampaknya masih merupakan cita-cita dan belum
medarat menuju pada realita yang konkrit.
Seperti halnya M. Natsir dan Sidi Gazalba, bahwa Islam meliputi semua aspek masyarakat dan kebudayaan, serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti sempit, maka sesungguhnya mereka lebih banyak berbicara tentang impian, daripada bertitik tolak dari kenyataan yang terjadi disebagian besar bumi Indonesia.
Pandangan yang hampir senada juga dilontarkan oleh Ernest Gellner, bahwa dalam tradisi Islam terdapat jalinan kuat atara spirit dan hukum keagamaan dengan wilayah sosial, termasuk wilayah politik. Berbeda dengan agama Kristen, Islam tidak pernah padam dari suatu ideologi dan pandangan hidup (way of life). Bahkan Islam tidak akan pernah terpisah dari persoalan-persoalan politik serta kemasyarakatan. Atas dasar inilah, maka kita tidak perlu heran kalau Islam pernah mengukir sejarah dunia bahwa Islam telah mengalami kejayaan gemilang dan dirasakan sebagai warisan dan blueprint sosial yang dihidupkan kembali.
Namun pada sisi yang lain,
berkat kejayaan tersebut kemudian umat Islam kehilangan semangat dan elan
vitalnya. Lebih-lebih ketika Barat mulai menyerang peradaban Timur. Sehingga
seolah-olah Islam dibikin tertidur pulas, dan hanya bisa tercengan melihat
kemajuan Barat. Kegagalan ini bukan berarti harus menyalahkan agama. Tetapi
kesalahannya itu bisa ditelusuri mulai dari wilayah lahir sampai wilayah batin.
Mulai dari sistem sosial sampai pada pemahaman umat terhadap teks ajaran
agamanya. Boleh jadi, atas penelusuran tersebut ditemukan sebuah pemahaman umat
terhadap agama yang mulai menurun dan kabur, sehingga hal ini mengakibatkan
kehilangan orientasi dan cita-cita gerakannya.
Realitas tersebut, kemudian
memberikan asumsi dasar bahwa ternyata umat Islam yang secara kuantitas besar
jumlahnya, tetapi dalam tradisi peradabannya relatif sangat kecil (little
tradition). Dalam wacana perpolitikan misalnya, umat Islam belum pernah tampil
sebagai kekuatan yang dapat diandalkan. Kelompok Islam cenderung mengurung diri
dan berkutat pada tataran teologis yang membosankan itu. Dalam pandangan
Clifford Gerrtz, bahwa dalam tubuh umat Islam masih terjadi pertentangan
peradaban antara Islam santri (modern), dengan Islam abangan (tradisional).
Meskipun penelitian ini menunjuk pada studi kawasan. Kondisi pertentangan
inilah yang kemudian membuat Islam mengalami kehilangan arah perjuangannya.
Justru kadang-kadang umat Islam semakin terkotak-kotak dalam perkembangan
politik selama beberapa dekade terakhir ini.
Indonesia misalnya, sejarah
ini agaknya terulang terus menerus selama berkembangnya perpolitikan. Umat
Islam banyak kehilangan peran strategisnya dalam percaturan ekonomi, sosial,
budaya dan politik. Sehingga perubahan-perubahan yang semestinya terjadi di
tubuh umat Islam, malah berakibat buruk dalam kehidupannya sendiri. Resistensi
demikian ini kemudian melahirkan semacam pesimistik dan bersikap ambigu yang
berlarut-larut. Arah aktivitas gerakannya kurang jelas serta malah mempersempit
ruang geraknya sendiri.
Karena itu, dalam pandangan
Nurcholis Madjid diperlukan pandangan terhadap agama yang mencapai al-hanifiat
al-samhah, yakni pandangan yang tidak lagi terkotak dalam wujud komunalisme
atau bentuk yang cenderung mengurung diri pada struktural tertentu. Pemahaman
keagamaan semacan ini, seseorang akan dengan sendirinya terpanggil untuk
berpartisipasi pada agenda-agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada
semua golongan manusia. Dan salah satu agenda kegiatan besar yang nampak pada
tercapainya cita-cita universal itu adalah penciptaan keadilan dan
kermanusiaan. Ajaran demikian, berarti menitik beratkan pada inklusifitas yang
memperjuangkan agenda-agenda universal tersebut di atas.
C.
Relasi Agama dan Kekuasaan
Menelaah tentang agama dan
kekuasaan, sebenarnya hampir sama dengan mengkaji masalah agama dan negara.
Secara diametral, keduanya berbeda hakikatnya. Agama adalah kabar gembira dan
peringatan (basyiran wa nadhira), sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa
(coecion). Hubungan antara kekuasaan dan agama adalah hubungan
simbiosis-fungsionalism.
Agama mendorong terbentuknya
kekuasaan yang bermoral, begitu juga sebaliknya moralitas kekuasaan juga ikut
memperkokoh jiwa keagamaan. Karena itu, tidak heran kalau tokoh dari Pakistan,
Fazlur Rahman mengatakan bahwa “bila al-Quran berbicara tentang puasa hanya
satu ayat saja, hampir sepertiga al-Qur’an diperuntukkan bagi pembangunan mesin
kekuasaan yang efektif, demi melindungi kepentingan-kepentingan dan daerah
kekuasaan. Dengan ungkapan lain, agama memerlukan negara bagi pembumian
ajaran-ajarannya.
Dari anggapan di atas, bahwa
kekuasaan sama sekali tidak lepas dari sorotan wahyu, sebagai cita-cita moral
dan nilai universal. Dengan demikian, sebagian besar penulis muslim menyatakan
bahwa memisahkan agama dari wawasan kekuasaan adalah tidak memiliki landasan
yang solid dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Mengakaji hubungan agama dan kekuasaan, agaknya kita harus merujuk pada akar etimologis. Islam sebagai agama itu berarti berbicara tentang dien (agama) dan dulah (negara). Pernyataan ini hampir diikuti oleh penulis Muslim, seperti Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya Nidham al- Hukmi fii al- Islam, telah berkali-kali menegaskan bahwa Islam adalah din dan daulah. Pendapat tersebut diilhami oleh tokoh seperti J. Schact, CA. Nlimo, dan H.A.R Gibb.
Kalau memang demikian,
berarti agama dan kekuasaan membutuhkan “penolong” guna menyalamatkan
eksistensi kedua-duanya. Di sinilah letak hubungan yang sangat sinergis dalam
merefleksikan fungsinya. Tanpa ada hubungan yang sinergis, baik agama maupun
kekuasaan tidak akan bisa berkembang secara dinamis. Lalu bagimanakah
perjalanan antar keduanya tersebut?
Sebagai kandungan nilai,
agama harus dapat dipahami sebagai prinsip kehidupan termasuk di dalamnya
kekuasaan. Salah satu refleksi yang tercermin dari masyarakat agama adalah
terwujudnya bentuk kekuasaan egaliter dalam berpolitik. Prinsip kekuasaan dalam
perspektif agama tidak pernah mengenal perioritas kesukuan, ras, golongan
apalagi keturunan. Semuanya dalam satu kesatuan di hadapan sistem kekuasaan.
D.
Semangat Profetik
Dinamika perkembangan
sejarah umat Islam pada masa kenabian adalah contoh yang patut diperhitungkan.
Meskipun dalam beberapa hal, terkesan sangat sulit dijamah, bukan tidak mungkin
kita dapat menarik dari segi moral dan semangat profetik tersebut dalam segala
dimensinya.
Semangat profetik, jika
dikaji dari kacamata akademis bukanlah hal yang mengada-ada. Namun, pada
kenyataannya Nabi Muhammad sebagai figur historis tidak hanya diakui oleh
penganutnya sendiri, tetapi juga diakui orang atheis sekalipun. Maxim Rodinson
misalnya, ilmuan atheis yang memiliki andil besar dalam memperkenalkan
ketokohan Muhammad kepada masyarakat Barat. Belum lagi ilmuan lain seperti
Montgomery Watt, Annemarie Schimmel, Martin Lings, ataupun Karen Armstrong yang
selama 9 tahun aktif sebagai biarawati. Mereka itu, melalui karya tulisannya
dengan segala kelebihan dan kekurangan telah melakukan pembelaan
historis-akedemis terhadap reputasi Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari
sekian tokoh sejarah yang meletakkan dasar, pedoman dan spirit bagi pembangunan
peradaban manusia.
Karena itu, merupakan
keharusan ilmiah belaka jika ilmuan semacam Philip K. Kitti ataupun Marshall G.
Hodgson melihat Nabi Muhammad dan agama Islam yang diwariskannya telah sanggup
menyulap dunia Arab dari padang pasir gundul menjadi mata air peradaban yang
pada gilirannya secara signifikan ikut mewarnai wacana dan perjalanan panjang
sejarah dunia.
Dari pengakuan para tokoh
non-muslim sekalipun di atas, menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad telah
melakukan transformasi besar-besaran terhadap tatanan kemasyarakatan. Seorang
yang notabene-nya atheis, secara jujur telah memberikan sanjungan dan pengakuan
historis terhadap keberhasilan Muhammad dalam melakukan konstruk budaya,
mengapa kita sebagai pengikutnya tidak meneladani semangat yang telah
dicontohkannya itu. Kejujuran historis kenabian tidak hanya diakui oleh umat
Islam, namun juga dapat pengakuan dari non Islam.
E. Nilai Agama; Basic Tegaknya Masyarakat Madani
E. Nilai Agama; Basic Tegaknya Masyarakat Madani
Sebagaimana dalam paparan
pendahuluan, bahwa agama di samping sebagai sebuah keyakinan, ia juga menjadi
sumber nilai. Sebagai sumber nilai, agama dapat ditempatkan menjadi kekuatan
sebagai konstruk budaya dan perubahan yang pada gilirannya akan membentuk tatanan
kemasyarakatan yang ideal.
Nuansa masyarakat yang
tercermin dari nilai etis-religius merupakan bangunan masyarakat keadaban. Hal
ini menggambarkan bahwa cita-cita dan tugas suci kenabian adalah membentuk
masyarakat beradab. Tugas ini ditempuh dalam waktu berpuluh-puluh tahun
lamanya. Bagi Nabi, cita-cita membentuk masyarakat adab adalah bagian integral
dalam menjalankan risalah agama.
Dalam pandangan Nurcholish
Madjid, keyakinan beragama memiliki impilikasi nilai dalam kehidupan. Nilai itu
misalnya, berbuat adil, karena seperti dalam pandangan al- Qur’an, bahwa
menegakkan keadilan adalah mendekati konsep taqwa. “sebagai sebuah sistem
sosial yang adil merupakan kelanjutan logis saja dari keinsyafan ketuhanan”.
Lebih lanjut, Nurcholis
Madjid memberikan elaborasi bahwa nilai agama bisa ditransformasikan ke dalam
ideom-ideom politik modern, seperti pengertian adil, dalam kitab suci juga
terkait erat dengan sikap seimbang dan menengahi dalam semangat moderasi dan
toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan), sebagai sikap
seimbang antara dua ekterminitas serta realistis dalam memahami tabiat dan
kemungkinan kemanusiaan.
Secara tegas, paparan yang
dikemukakan Nurcholis Madjid tersebut mengingatkan kepada kita bahwa dalam
masyarakat yang majemuk (plural), sikap wasath merupakan alternatif sebagai
penyelesaian problema perpolitikan dan kemasyarakatan. Karena itu, sebagai
kelompok umat yang beragama, maka mereka diharapkan sebagai “mediator atau
penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia, dan diharapkan untuk
menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan antara kelompok”.
Dengan pandangan demikian,
sebagai makhluk sosial yang beriman tidaklah mungkin mendukung sistem tiranik,
sebab setiap tirani bertentangan dengan pandangan hidup yang hanya memutlakkan
Tuhan Yang Maha Esa. Sikap terbuka kepada sesama manusia, dalam kedalaman jiwa
saling menghargai. Namun tidak terlepas dari sikap kritis, adalah indikasi
adaya petuntuk dari Tuhan.
Jadi, sikap kritis yang mendasari keterbukaan merupakan salah satu konsekuensi keyakinan agama, karena hal itu merupakan kelanjutan dari sikap pemutlakan yang hanya kepada Tuhan, dan penisbian kepada segala sesuatu selain Tuhan.
Konsep inilah yang oleh Nurcholis Madjid, dikatakan bahwa secara teologis, keterkaitan organik antara nilai-nilai iman dengan demokrasi kemasyarakatan adalah pengaturan tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan (yang sering diterjemahkannya sebagai “kehendak bersama” bahkan suatu “kontrak sosial”). Nilai–nilai keimanan mengajarkan bahwa segala hal yang menyangkut sesama manusia, diselesaikan melalui musyawarah-partisipatif (jalan kompromi), suatu proses timbal balik (reciproed) antar para pesertanya, dengan hak dan kewajiban yang sama. Sehingga masyarakat beriman adalah masyarakat musyawarah, yakni sebagai media untuk menyelasaikan persoalan umat.
Sebagai msyarakat
musyawarah, upaya yang harus diciptakan sebagai mendukungnya adalah membangun
sistem keterbukaan (inklusifitas) di tengah-tengah kelompok sosial. Tanpa
dukungan ini, masyarakat madani tidak akan memperoleh ketenangan, melainkan
rasa kecurigaan, syak dan cenderung apologetik. Serta rentannya sikap
sekterianisme yang menganggap bahwa kebenaran hanya mungkin datang dari
kelompoknya sendiri, dengan cara menolak kebenaran yang datang dari kelompok
lain. Akhirnya, yang terjadi adalah kebenaran tunggal, kebenaran kelompok yang
sangat parsial itu.
Melalui nilai agama, kita
diajarkan untuk saling bertukar pedapat, gagasan, ide dan dengan sendirinya
menghormati kemungkinan perbedaan. Dinamika keterbukaan itu juga dengan sendirinya
mengundang kebebasan. Sementara logika kebebasan adalah tanggung jawab. Seorang
disebut bebas apabila ia dapat melakukan sesuatu seperti dikehendakinya sendiri
atas pilihan serta pertimbangannya sendiri, sehingga orang tersebut secara
logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya.
Kaitannya dengan tersedianya
ruang kebebasannya ini, dijelaskan oleh Bradley yang kemudian dikutip Benn dan
Peter, bahwa kebebasan melibatkan beberapa persyaratan. Pertama, kelangsungan
identitas perorangan. Artinya tindakan yang tetap mencerminkan kepribadian
orang yang bersangkutan. Dengan tetap komitman melaksanakan nilai-nilai yang
tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kehidupan, yang mencerminkan kebebasan
nurani.
Kedua, seseorang disebut
bebas dan bertanggung jawab kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar
keluar dari dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar. Pemaksanaan
didefinisikan oleh Bradley sebagai “dihasilkannya suatu akibat, dalam jasmani
atau ruhani suatu makhluk hidup, dari sesuatu yang tidak terkait sebagai
konsekuensi kemauan makhluk itu. Dengan perkataan lain, pemaksaan adalah
dihasilkannya suatu tindakan yang bententangan dengan kemauan yang
bersangkutan. Karena itu tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukan.
Ketiga, orang disebut bebas
dan bertanggung jawab jika ia berakal. Yakni ia mengetahui keadaan khusus
perkara yang dihadapi. Jika ia melakukannya karena ia tidak mengerti, maka ia
tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab.
Keempat, orang yang besangkutan haruslah seorang pelaku moral (moral agent), yaitu orang yang mengetahui aturan umum yang dituntut oleh masyarakatnya. Tanpa pengetahuan itu, seseorang tidak mungkin diperlakukan sebagai bertanggung jawab atas tindakannya.
Kendatipun kebebasan dibuka
seluas-luasnya, bukan berarti harus menanggalkan nilai-nilai, norma ataupun
budaya kemasyarakatan. Sebab, nilai kemasyarakatan harus tetap dijaga sesuai
dengan aturan yang berlaku, baik dengan kaidah-kaidah hukum maupun nilai-nilai
budaya. Tanpa penjagaan seperti itu, maka tidak tertutup kemungkinan bisa
merusak sendi-sendi bangunan kemasyarakatan.
Seperti yang dikatakan
Robert N. Bellah bahwa melakukan filterisasi nilai dan budaya akan memungkinkan
terbentuknya nasionalism partisipasif-egaliter. Yaitu tetap menjunjung tinggi
nilai dan prinsip kebebasan diharapkan terbukanya kritik dan sumbangan
pemikiran dari luar. Melalui cara ini berarti meletakkan dasar-dasar hubungan
dalam masyarakat benar-benar partisipasif-egaliter.
F.
Kesimpulan
Agama sebagai sumber nilai,
dapat meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagai cacatan akhir dari
tulisan ini perlu digaris bawahi bahwa; Pertama, agama sebagai sumber inspirasi
moral dan etika kekuasaan dalam kaitannya membangun dalam kehidupan berpolitik.
Kedua, agama sebagai kekuatan pembebas dari segala sikap tirani dan budaya yang
membelunggu masyarakat. Ketiga, agama sebagai kerangka nilai mampu menjadi alat
pengontrol kekuasaan guna menopang terbentuknya masyarakat madani.
Dengan demikian, supaya
agama tidak hanya berhenti dalam bentuk vebal, maka agama dipahami sebagai
kerangka nilai, sehingga diharapkan mampu memberikan kerangka moral dan
cita-cita masyarakat yang ideal. Dari ketiga cacatan di atas bahwa agama
menginginkan terbentuknya moralitas kekuasaan dan masyarakat madani. Adapun
nilai itu misalnya, keadilan, kebenaran universal, persaudaraan dan hubungan
yang dialogis dalam tata kehidupan yang kompleks dan majemuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar